NIAS SELATAN– Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pelaksanaan program Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB) di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara menyingkap fakta yang mengkhawatirkan. Dari 78 desa penerima manfaat, auditor negara hanya meneliti 11 desa di 10 kecamatan, dan hasilnya sudah menunjukkan indikasi penyimpangan serius.
Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan Tahun 2024, BPK mencatat adanya pertanggungjawaban sebesar Rp186.367.000 yang “tidak dapat diyakini kebenarannya.” Kalimat singkat ini menandakan bahwa dana telah dicairkan dan laporan telah dibuat, namun pelaksanaan kegiatan tidak bisa dibuktikan secara sahih di lapangan.
Temuan tersebut diperoleh dari uji petik terbatas terhadap 11 desa, padahal total program Kampung KB di daerah ini mencapai 78 unit dengan nilai anggaran lebih dari Rp8 miliar.
Dengan demikian, angka Rp186 juta itu hanyalah bagian kecil dari potensi penyimpangan yang jauh lebih besar.
Jika rata-rata temuan Rp16,9 juta per desa diterapkan pada seluruh lokasi, maka potensi kerugian negara bisa mencapai lebih dari Rp1,3 miliar. Namun, BPK tidak memperluas cakupan audit dan memilih berhenti pada temuan sampel tersebut.
Yang membuat publik bertanya-tanya, rekomendasi BPK dalam laporan itu terbilang lunak. Tidak ada dorongan untuk penegakan hukum, hanya perintah administratif kepada pemerintah daerah agar meningkatkan pengawasan, melengkapi dokumentasi kegiatan, dan menyusun laporan pertanggungjawaban yang lebih tertib.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, lembaga audit negara wajib melaporkan indikasi pidana kepada aparat penegak hukum jika ditemukan kerugian negara yang disengaja atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Istilah “tidak dapat diyakini kebenarannya” bukan sekadar soal administrasi. Dalam konteks audit, istilah itu menunjukkan kemungkinan kuat bahwa:
kegiatan tidak dilaksanakan sesuai juknis, bukti fisik tidak ada, atau laporan dibuat tanpa dasar kegiatan riil.
Beberapa sumber di lapangan menyebut, sebagian Kampung KB yang dilaporkan sudah berjalan ternyata tidak memiliki aktivitas nyata seperti yang tertulis dalam laporan penggunaan dana. Beberapa balai penyuluhan bahkan tidak pernah menerima bahan kegiatan sebagaimana dilaporkan.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa BPK tidak menindaklanjuti temuan tersebut ke ranah hukum?
Menurut aturan, BPK memiliki kewenangan untuk menyampaikan temuan indikasi pidana kepada aparat penegak hukum — baik kejaksaan maupun KPK — agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Namun, dalam LHP Nias Selatan, langkah itu tidak terlihat. Padahal secara substansi, temuan senilai Rp186 juta dari 11 desa cukup menjadi dasar awal penyelidikan.
Program Kampung KB sejatinya dirancang untuk memperkuat kualitas keluarga di tingkat desa, dengan pendanaan bersumber dari Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB) melalui BKKBN. Namun jika dana yang mestinya menyentuh masyarakat malah berhenti di atas kertas, maka tujuannya kehilangan makna.
Publik kini menunggu langkah lanjutan:
apakah pemerintah daerah akan menindaklanjuti temuan ini, atau justru membiarkannya tenggelam dalam tumpukan rekomendasi administratif?
Temuan Rp186 juta hanyalah puncak gunung es dari potensi penyimpangan dana BOKB di Kabupaten Nias Selatan. Dengan total anggaran mencapai lebih dari Rp8 miliar dan 78 desa penerima, audit terbatas BPK justru membuka pertanyaan lebih besar — apakah ada bagian dari kebenaran yang sengaja disembunyikan?(Red)

Social Header